Pages

Senin, 23 Mei 2011

Insomnia


WALAU tampak sepele, gangguan sulit tidur dapat menurunkan kualitas hidup seseorang.
Pada fase tertentu, terapi obat-obatan mungkin saja diperlukan. Ada orang yang amat mudah tertidur di mana pun dan kapan pun sehingga muncul sebutan “muka bantal” atau pelor alias nempel molor. Sebaliknya, tidak sedikit orang yang mengeluh kesulitan terlelap alias insomnia. Betapa pun dia berusaha, mata tak kunjung terpejam atau hanya mampu tidur sejenak dan lekas terbangun lagi.
Bagi golongan ini, tidur tidak ubahnya barang mewah, perlu perjuangan ekstra untuk menikmatinya. Bagi sebagian orang, insomnia mungkin dipandang sebagai gangguan tidur biasa. Padahal, mereka yang mengalaminya mungkin saja merasa telah “dirugikan”. Bagaimana tidak, kurang tidur pada malam hari misalnya, dapat membuat orang merasa mengantuk, lemas, dan tidak bugar pada pagi hari. Efeknya, terutama bagi kaum pekerja, adalah menurunnya produktivitas dan kualitas hidup secara keseluruhan. Pemanfaatan waktu sepanjang hari pun menjadi kurang optimal.


Menurut data yang dilansir www.cureresearch.com, prevalensi insomnia di Indonesia berkisar 10 persen. Dengan kata lain, kurang lebih 28 juta dari total 238 juta penduduk Indonesia menderita insomnia. Hal ini tidak jauh berbeda dengan penuturan psikiater FKUI, dr Nurmiati Amir SpKJ, yang mengungkapkan angka kejadian insomnia di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, yakni sekitar 2,2 juta.
Nurmiati atau yang akrab disapa Titi berujar, secara singkat insomnia diartikan sebagai kesulitan tidur atau mampu tertidur, tapi terbangun dengan kondisi tidak segar seperti mengantuk, badan lemas, dan tidak bersemangat.
“Jadi, bila Anda mengalami kesulitan tertidur saat masuk waktu tidur, sering terbangun dan sulit tertidur lagi, bangun tidur terlalu cepat, atau merasa tidak nyaman saat bangun tidur, mungkin saja Anda terkena insomnia,” sebut Titi saat peluncuran obat insomnia Rozerem (Ramelteon), di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Tak hanya berkurangnya stamina pada siang hari, insomnia sejatinya dapat memengaruhi aspek fisik dan psikis seseorang. Hal ini terkait faktor penyebab atau pencetus insomnia itu sendiri. Secara fisik, seseorang yang menderita penyakit jantung, muskuloskeletal, ataupun komplikasi diabetes mellitus, bisa mengalami insomnia.
Demikian halnya dari segi mental (psikis), stres dan cemas berkepanjangan serta depresi dapat memicu insomnia (atau sebaliknya). Gangguan psikosis seperti skizofrenia juga dapat membuat pengidapnya merasa terancam, takut, atau bertindak sesuka hati dan berhalusinasi sehingga membuatnya betah terjaga (tidak tidur). Hal yang sama terjadi pada para pencandu narkotika dan zat adiktif lainnya.
Mengingat penyebabnya yang beragam, penanganan insomnia (terutama yang sudah bersifat kronis) perlu dilakukan secara terpadu. Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PPPDSKJI), Prof Dr HM Syamsulhadi SpKJ(K), menyebutnya dengan istilah terapi bio-psiko-sosio-spiritual.
Bio mengacu pada terapi dengan obat-obatan, menjaga higienisitas saat tidur, serta menghindari zat-zat yang memengaruhi otak seperti alkohol dan rokok. Adapun psiko dimaksudkan membebaskan jiwa dan pikiran dari segala masalah pribadi atau sosial yang meresahkan pikiran. Sementara itu, terapi sosio- spiritual dilakukan dengan berupaya memperbaiki lingkungan dan kehidupan rohani menjadi lebih baik.
Jika insomnia yang muncul dipicu penyakit kronis tertentu, misalnya (insomnia sekunder), maka yang harus dilakukan adalah mengobati penyakit utamanya (primer) dulu.
sumber : http://lifestyle.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/11/07/27/161573/insomnia-kronis-pengaruhi-kejiwaan

Anda sering mengalami gangguan susah tidur? Saat semua orang menikmati istirahat panjang di malam hari, anda justru tetap terjaga? Kalau anda menjawan YA, maka mulailah menganggap bahwa ini adalah hal serius. Jangan sekali-kali meremehkannya, karena gangguan tidur berpotensi menyebabkan kematian.

Menurut Dr Olga Parra yang melakukan penelitian bersama tim peneliti dari University Hospital Barcelona, Spanyol, kesulitan tidur atau 'sleep apnea' bisa berdampak pada naiknya resiko stroke yang mengakibatkan kematian. Kesulitan selama tidur kemungkinan disebabkan oleh adanya gangguan secara berkala saat mengambil nafas.

Ini bisa menjadi resiko baru sebuah kematian yang disebabkan oleh stroke. Kesulitan untuk tidur atau 'sleep apnea' diperkirakan dialami hampir 20% orang dan setidaknya gangguan pernafasan itu mengalami masa interval 10 detik atau lebih yang bisa dialami selama 300 kali dalam semalam.

Dalam penelitiannya, Dr Olga Parra melibatkan 161 pasien penderita stroke untuk melihat hubungan antara resiko stroke dengan 'sleep apnea'. "Penelitian kami merupakan kali pertama yang menyebut adanya hubungan antara 'sleep apnea' dan stroke yang bisa menimbulkan kematian," ujarnya. Hubungan itu sangat jelas dimana 'sleep apnea' merupakan gangguan pernafasan selama tidur karena terhambatnya aliran udara.

Dr Olga Parra mulai melakukan monitoring atas penderita stroke setelah pihak rumah sakit mendapati kenyataan adanya pasien yang mengalami stroke setelah mengalami gangguan selama tidur. Selama hampir 30 bulan melakukan penelitian, Dr Olga Parra menghadapi kenyataan bahwa 22 dari 161 pasien meninggal dunia.

Setengah dari 22 pasien itu mengalami serangan stroke tahap kedua. Pasien yang paling tinggi dari 161 pasien itu adalah penderita 'sleep apnea' dan menduduki resiko paling tinggi mengalami stroke. Demikian kesimpulan tim pimpinan Dr Olga Parra yang dipublikasikan oleh the European Respiratory Journal.

Stroke merupakan penyakit yang paling banyak menyebabkan kematian dan terjadi jika aliran darah ke otak mengalami hambatan. Karena mengalami hambatan maka aliran oksigen tidak bisa mengalir ke otak. Menurut WHO di tahun 2002 silam diperkirakan 5.5 juta orang meninggal diseluruh dunia karena stroke.

Mengomentari hasil penelitian Dr Olga Parra itu, Ludger Grote dari Sahlgrenska Hospital, Swedia, mengatakan penelitian itu membuat orang makin memahami peran 'sleep apnea' pada pasien penderita stroke. "Studi Dr Olga Parra memperjelas potensi sleep apnea pada penderita stroke. Hal itu bisa menjadi sebuah pertimbangan untuk melihat implikasi untuk melakukan manajemen stroke."

Kini Dr Olga Parra akan menyebarluaskan hasil studi mereka ke pusat rehabilitasi 'sleep apnea' diseluruh Spanyol untuk mengurangi angka kematian akibat stroke. Lima tahun kedepan Dr Olga Parra berharap bisa dimunculkan hasil studi yang baru

0 komentar:

Posting Komentar